MAHĀJANAKA-JĀTAKA
Kisah ini diceritakan di Jetavana ketika para Bhikkhu mendiskusikan pelepasan agung Tathāgata. Ketika Sang Guru mendengar pembahasan mereka, ini berkata, “Ini bukanlah pertama kalinya Tathāgata melakukan pelepasan agung. Ia juga melakukan pelepasan agung pada zaman dahulu.” Tathāgata pun menceritakan kisah masa lalu.
Pada suatu kala, terdapat seorang raja bernama Mahājanaka. Ia memiliki dua orang anak, Ariṭṭhajanaka dan Polajanaka. Ketika Mahājanaka meninggal, Ariṭṭhajanaka menjadi raja dan adiknya menjadi raja muda. Namun, para pelayannya memberitahu Ariṭṭhajanaka bahwa adiknya berniat membunuhnya. Sang raja menjadi curiga sehingga ia menghukum Polajanaka. Di penjara, Poljanaka bersumpah, “Bila saya bukanlah musuh kakakku, maka biarlah rantai longgar dan pintunya terbuka,” dan saat itu juga, rantainya hancur berkeping-keping dan pintu terayun membuka. Polajanaka keluar dan pergi ke desa di perbatasan dan tinggal di sana. Dengan berlalunya waktu, dia menjadi kepala desa dan memiliki banyak pengikut. Ia pun berpikir, “Jika saya bukanlah musuh kakakku dulu, saya sudah menjadi musuhnya sekarang,” dan ia pergi ke ibukota untuk menantang sang raja bertempur atau menyerahkan tahtanya.
Sang raja tewas, sehingga sang permaisuri memutuskan untuk melarikan diri. Sakka, raja para dewa, memutuskan untuk membantunya melakukan perjalanan ke Kāḷacampā. Perjalanan yang biasanya memakan waktu berhari-hari itu diselesaikan dalam waktu sehari saja oleh Sakka.
Sesampai di Kāḷacampā, sang permaisuri tinggal bersama seorang Brahmin, dan tidak lama kemudian anaknya lahir dan dipanggil Pangeran Mahājanaka.
Akan tetapi, Mahājanaka sering diejek sebagai putra seorang janda oleh anak-anak sebayanya sehingga ibunya akhirnya menceritakan kelahirannya. Dari sejak saat itu, ia tidak lagi marah tatkala diejek sebagai putra janda. Ia berpikir untuk merebut kembali kerajaan ayahnya. Namun, sebelum itu, ia menaiki kapal ke Suvaṇṇabhūmi. Di tengah perjalanan, kapal mereka diterjang badai dahsyat dan hancur berkeping-keping. Untungnya, Pangeran Mahājanaka terhindar dari nasib yang sama.
Pangeran Mahājanaka terapung di lautan selama seminggu sebelum diselamatkan dewi lautan. Dewi tersebut kemudian menerbangkannya ke kerajaan keluarganya dan membaringkannya di atas batu upacara di hutan mangga tempat dewi taman dapat menjaganya.
Polajanaka tidak memiliki putra, hanya seorang putri yang bernama Sīvalīdevī. Para menteri memohon kepada Polajanaka ketika ia sekarat, “Baginda, kepada siapa Anda akan memberikan kerajaan ini ketika anak Anda kelak dewasa?” dan ia membalas, “Berikanlah kepada ia yang bisa menyenangkan putri, anak perempuan saya, Sīvalī, atau ia yang mengetahui yang mana yang menjadi bagian kepala dari tempat tidur persegi, atau bisa menarik busur yang memerlukan kekuatan seribu orang, atau bisa menggali keluar enam belas mustika agung.” Namun tidak seorang pun yang bisa melakukannya.
Pendeta keluarga akhirnya memutuskan bahwa mereka harus membiarkan kereta kuda perayaan yang menentukan raja berikutnya. Kereta itu keluar dari istana, lalu memasuki taman dan dengan khidmat mengitari batu upacara tempat Pangeran Mahājanaka tidur dan berhenti seakan siap untuk ditunggangi.
Pangeran Mahājanaka menjadi raja yang baru, dan juga berhasil memenuhi semua syarat raja sebelumnya. Raja Mahājanaka memerintah dengan bijaksana dan baik hati, dan dengan Putri Sīvalī sebagai ratunya, dan mereka memiliki seorang putra bernama Pangeran Dīghāvu.
Suatu hari, Raja Mahājanaka menemukan dua pohon mangga di tamannya, satu penuh buah dan yang lainnya tidak. Ia memakan mangga dari pohon yang satu. Mangga itu begitu lezat sehingga ia kembali lagi untuk memakan mangga, namun melihat bahwa pohon itu telah hancur. Ketika orang-orang melihat Raja Mahājanaka memakan mangga, mereka semua menginginkannya, dan menghancurkan pohon tersebut saat mencari buah untuk dimakan. Hanya pohon yang tandus yang tidak rusak. Melihat hal itu, Raja Mahājanaka menyadari bahwa memiliki harta benda akan membawa kesengsaraan sehingga ia memutuskan untuk meninggalkan kejayaannya dan hidup sebagai seorang pertapa.
Namun, Ratu Sīvalī mengejarnya. Ia juga memerintahkan untuk membakar rumput dan dedaunan dan berbohong bahwa gudang harta karun terbakar, berharap hal itu akan membuat Mahājanaka kembali. Namun, ia berkata bahwa ia tidak memiliki harta karun apa pun dan tetap berjalan pergi. Mahājanaka kemudian menggambar garis di jalan dengan tongkatnya dan memerintahkan agar tidak seorang pun melewatinya. Namun, Ratu Sīvalī mengabaikan permintaannya dan tetap mengikutinya.
Dua orang pertapa dari hutan Himmapan, meramalkan bahwa Mahājanaka akan sulit untuk meyakinkan para pengikutnya untuk pergi, dan muncul untuk memberikan semangat. Keesokan paginya, Mahājanaka memungut makanan dari tanah dan memakannya, yang membuat sang Ratu terkejut saat melihatnya, tetapi ia tetap tidak menyerah untuk meyakinkan Mahājanaka kembali.
Di gerbang kota, seorang gadis yang sedang menyaring pasir mengenakan dua gelang di satu pergelangan tangan dan hanya satu di pergelangan tangan lainnya. Mahājanaka, menjelaskan bahwa meskipun kedua gelang bersama-sama membuat suara yang mengganggu, tetapi gelang tunggal itu menenangkan.
Di dalam kota, Mahājanaka melakukan perjalanan berpindapatta dan datang ke rumah seorang pembuat anak panah. Dia melihat bahwa lelaki ini menutup salah satu matanya untuk membuat anak panah yang lurus. Dia memberitahu ratu bahwa pandangan dari dua mata itu mengganggu, tetapi menggunakan satu mata menghasilkan pandangan yang fokus. Ratu berkata bahwa dia memahami kedua pelajaran ini, tetapi tetap tidak akan meninggalkan sisinya.
Kembali ke luar kota, Mahājanaka memetik sebatang rumput dan memberi tahu ratu bahwa mereka seperti itu: mereka telah terbelah dan tidak akan pernah bisa disatukan lagi. Kemudian, ia memohon padanya untuk pergi. Ratu kembali dilanda kesedihan, kali ini begitu kuat hingga ia pingsan dan jatuh di jalan. Mahājanaka segera berlari ke dalam hutan dan akhirnya berhasil menyelinap pergi, tidak pernah kembali ke kerajaannya. Setelah seminggu, ia mencapai pencerahan.
Sang Guru, setelah pelajarannya berakhir, berkata, "Ini bukan pertama kalinya Sang Tathāgata melakukan pelepasan agung; ia juga melakukannya sebelumnya." Setelah berkata demikian, ia menjelaskan kelahiran tersebut: "Pada waktu itu, dewi laut adalah Uppalavaṇṇā, dua orang pertapa adalah Sāriputta dan Moggallāna, gadis itu adalah putri Khemā, pembuat anak panah adalah Ānanda, Sīvalī adalah ibu dari Rāhula, Pangeran Dīghāvu adalah Rāhula, kedua orang tuanya adalah anggota keluarga kerajaan, dan saya sendiri adalah raja Mahājanaka."
Dari cerita ini, kita bisa mengambil pelajaran bahwa memiliki harta akan membuat seseorang memiliki banyak musuh dan diincar banyak orang, sedangkan hidup sederhana akan menghasilkan kehidupan yang damai dan tenteram.
Sumber referensi: Andayani. (2019). Sutta-Pitaka Khuddakanikaya Jataka Volume 6. In Andayani, Sutta-Pitaka Khuddakanikaya Jataka Volume 6 (p. 39). Medan: Indonesia Tipitaka Center.