Kisah Seekor Anak Burung Puyuh
Suatu ketika, Sang Bodhisatva turun ke dunia sebagai seekor anak burung puyuh. Ia tinggal bersama dengan para saudaranya dalam sebuah sarang di dalam semak-semak. Semakin bertambahnya hari, saudara-saudaranya semakin gemuk dan kuat. Akan tetapi, dirinya tidak dan ia memiliki sayap yang lemah.
Ternyata ia begitu lemah karena ia merupakan penjelmaan dari Sang Bodhisatva. Dikarenakan ia akan menjadi calon Buddha, maka ia mempelajari ajaran suci dengan sepenuh hati sehingga ia menolak untuk memakan makanan pemberian dari ayah dan ibunya seperti cacing, kumbang, dan binatang kecil lainnya. Hal tersebut ia lakukan karena menaati segala ketentuan dan perintah dari Ahimsa.
Pada suatu hari, terjadi kebakaran di dekat tempat tinggal keluarga puyuh itu, sehingga seluruh penghuni hutan terkejut dan panik lalu keadaan menjadi tak terkontrol. Semuanya berusaha melarikan diri kecuali anak burung puyuh itu yang tidak bisa melarikan diri karena sayapnya yang masih sangat lemah.
Api semakin besar dan menyambar sampai membakar pohon-pohon, semak di hutan dan membakar tempat tinggal burung yang lain. Sementara keluarga anak burung puyuh ini, ayah, ibu, dan para saudaranya, telah terbang pergi dan meninggalkannya sendirian dalam sarang. Api juga semakin dekat dan hampir mengenai sarangnya. Ia pun sangat ketakutan dan tidak tahu apa yang harus dilakukan lalu ia memohon kepada dewa Api, “O Agni, dewa Api jaya! Tuanku tentu melihat bahwa aku ini terlampau kecil dan kurus untuk menjadi santapanmu Tuan Agung sebagai Tuanku. Disini tidak ada makanan untuk tuanku, karena semua binatang-binatang telah lari meninggalkan tempat ini. Silahkan Tuanku pulang kembali.” Lalu ajaibnya walaupun angin berhembus sangat kencang namun karena kata-kata dari anak burung puyuh itu, tiba-tiba api yang sangat besar itu berhenti mengganas dan perlahan padam. Sehingga anak burung puyuh itu bisa terbebas dari bahaya maut yang mengancamnya.
Ia bisa bebas dari bahaya itu karena selama hidupnya, ia telah menyelamatkan banyak nyawa binatang lain sekecil apapun binatang itu. Ia yakin bahwa setiap makhluk hidup itu berhak untuk hidup. Ini semua dapat terjadi karena ia mempraktikkan Ahimsa. Ahimsa adalah bertekad untuk tidak menyakiti ataupun membunuh makhluk hidup. Apabila dipraktikkan dengan benar maka akan mendapatkan pahala yang besar.
Melalui kisah ini, ada pesan moral yang dapat kita peroleh seperti yang terdapat dalam Dhammapada Bab X Danda Vagga syair 142, yang berbunyi : “Walaupun digoda dengan cara bagaimanapun, tetapi apabila seseorang dapat menjaga ketenangan pikirannya, damai, mantap, terkendali, suci murni dan tidak lagi menyakiti makhluk lain, sesungguhnya ia adalah seorang Brahmana, seorang Samana, seorang Bhikkhu.”
Serta terdapat juga dalam Dhammapada Bab XXVI Brahmana Vagga syair 405, yang berbunyi : “Seseorang yang tidak lagi menganiaya makhluk-makhluk lain, baik yang kuat maupun lemah, yang tidak membunuh atau menganjurkan orang lain membunuh, maka ia kusebut sebagai seorang ‘Brahmana’.”