Doa, Bisakah Terkabul?
Hidup ini tidak memuaskan. Ada saja yang kita rasa masih kurang; harta, pekerjaan, kesehatan, keturunan, keselamatan, kebahagiaan, dll. Sesungguhnya semua itu bisa kita dapatkan dengan melakukan suatu usaha, dengan membuat sebabnya, karena manusia memang memiliki potensi untuk itu. Tak ada makhluk lain yang ikut mengatur persoalan nasib seseorang. Namun karena terbelenggu oleh ketidaktahuan, manusia tidak dapat melihat dan merealisasikan potensi yang ada pada dirinya. Mereka lebih suka memohon dan meminta kepada para dewa sebagai jalan pintas untuk memenuhi segala keinginannya tanpa mau bersusah payah. Tindakan memohon dan meminta kemurahan hati para Dewa untuk sesuatu inilah yang umum disebut Berdoa.
Mengapa Sang Buddha tidak mengajarkan umatnya berdoa atau memohon kepada Tuhan? Karena Tuhan -Yang Maha Esa- dalam agama Buddha bukanlah suatu pribadi atau makhluk hidup yang menjadi tempat menggantungkan hidup, berdoa, atau memohon. Sang Buddha telah berhasil menempatkan Tuhan pada proporsi yang sebenarnya, yaitu sebagai Dhamma Yang Tertinggi, Yang Tak Bersyarat. Sebagai Guru yang menganjurkan Ehipassiko, maka mengapa Sang Buddha tidak mengajarkan doa permohonan/minta-minta, dapat dikaji dari manfaat atau kegunaan doa yang demikian itu. Untuk mengkaji manfaatnya, kita dapat membuat suatu analogi yang sederhana.
Ada tiga orang petani, menanam jagung dengan faktor-faktor penunjang tanah, air, cuaca, perawatan, dll- yang sama, tetapi:
- Si A, berdoa siang malam, agar biji jagung yang ditanam tumbuh menjadi pohon mangga.
- Si B, berdoa agar biji jagung itu tumbuh menjadi pohon jagung.
- Si C, tidak berdoa, karena yakin “segala sesuatu itu akan tumbuh dan berbuah sesuai dengan benih yang ditanam”.
Adakah yang mampu mengabulkan doa/permohonan si A? Doa hanya terkabul bila pas dan sesuai dengan benih / karma / perbuatan kita; yang sebetulnya tanpa didoakan/dimohonkan/diminta juga pasti akan terkabul. Doa permohonan menjadi sia-sia bila kita tidak memiliki simpanan karma baik, tidak memiliki penyebab terkabulnya doa permohonan kita.
Alih-alih mengajarkan doa-doa permohonan yang sia-sia, Sang Buddha mengajarkan Meditasi. Meditasi bukanlah berdiam diri melamun atau mengosongkan pikiran. Meditasi adalah perjuangan pikiran, latihan pengendalian pikiran; mengesampingkan segala pikiran dan nafsu keinginan yang rendah dan egois, mengendapkan kekotoran batin sehingga pikiran menjadi tenang. Dengan pikiran yang jernih, tentu kita menjadi lebih waspada, bijaksana, dan lebih bisa membedakan antara yang semu dengan yang sejati.
Apakah berarti Dewa tidak bisa menolong manusia?
Jangankan Dewa, manusia pun bisa menolong, tetapi bantuan atau pertolongan itu tidak terlepas dari karma kita sendiri, baik pada kehidupan yang lampau maupun yang sekarang. Dewa yang kita mohoni, hanya mampu menyediakan situasi agar karma baik kita bisa tumbuh dan masak.
Bagaimana Dewa bisa menolong? Apabila moral dan batin kita bersih, otomatis para Dewa suka berada di dekat kita. Tanpa diminta pun, mereka akan berusaha membantu kita. Memberi firasat, menghalangi makhluk jahat atau ‘black-magic’ yang ingin mengganggu.
Dalam arti sejati:
“Diri sendiri sesungguhnya pelindung bagi diri sendiri. Karena siapa pula yang dapat menjadi pelindung bagi dirinya? Setelah seseorang dapat melatih dirinya dengan baik, maka ia akan memperoleh suatu perlindungan yang sukar diperoleh”. Walau tak ada larangan untuk meminta pertolongan kepada para Dewa, umat Buddha tidak seharusnya menggantungkan hidupnya kepada para Dewa. Kemandirian seharusnya menjadi sikap yang utama. Sebab manusia mempunyai potensi tinggi untuk memenuhi kebutuhannya.
Sekarang mungkin timbul pertanyaan, “Kalau memang agama Buddha tidak mengenal ajaran tentang doa, permohonan, atau minta-minta, lalu apa yang dilakukan atau diucapkan oleh umat Buddha saat sembahyang?”
Yang diucapkan waktu sembahyang adalah PARITTA atau SUTTA. Makna atau tujuan kita mengucapkan paritta adalah sebagai pengulangan terhadap Ajaran Sang Buddha, agar kita selalu ingat terhadap Dhamma Sang Buddha, selalu ingat kepada sila (kemoralan), kepada sifat-sifat luhur Buddha, Dhamma, dan Sangha. Dan pada akhimya ini memberi kita semangat, penguat tekad, pembangkit usaha untuk melaksanakan Dhamma, serta sebagai pengantar yang menenangkan untuk memulai meditasi.
Persembahan, boleh atau dilarang?
Sang Buddha tidak pernah melarang umat awam; Sang Buddha hanya memberitahukan akibat, pahala, dan konsekuensi dari suatu tindakan. Kita sujud dan melakukan persembahan, bukanlah karena Sang Buddha memerlukan, meminta, merasa berhak, apalagi mengharuskan. Seseorang yang telah menyucikan pikirannya dan menikmati kebahagiaan yang datang dari kebijaksanaan dan Kebahagiaan Sejati, sama sekali tidak memerlukan apa-apa dari luar dirinya untuk dapat menjadi bahagia.
Apakah ini berarti persembahan kita sia-sia?
Yang mendapatkan manfaat dari persembahan kita sesungguhnya adalah diri kita sendiri. Kita yang belum meraih kesucian, tentu memiliki kemelekatan dan kekikiran. Untuk mengikis kemelekatan dan kekikiran itu, salah satu caranya adalah melaksanakan persembahan atau berdana. Hal ini memberikan potensi positif dan mengembangkan pikiran kita, yang selanjutnya memperbaiki tindakan kita.
Bagaimana dengan “doa kaul”?
“Tuhan/Dewa, berilah kami rezeki/makanan/anak. Kalau doa kami dikabulkan, kami akan mempersembahkan ayam panggang 10 ekor”. Bila Tuhan/Dewa yang kita sembah mampu memberi kita apapun yang kita minta, apakah kita tidak salah kaprah dengan menjanjikan sesuatu kepadanya?
Bagaimana “kaul” secara Buddhis?
Berdana, berbuat baik dulu, baru lalu mengharap, “Semoga dengan kebaikan yang saya lakukan ini, saya bisa mendapatkan kebahagiaan/rezeki/makanan/anak”. Jadi, tanam dulu benih jagung kita, baru kita bisa berharap memanen jagung. Kalau kita menanam -mendanakan- sebutir jagung, kelak kita akan mendapatkan hasil, pahalanya berbutir-butir. Kalau kita berharap panen dulu baru kelak menanam, berarti kita perlu banyak belajar dari pak tani.
Semoga tulisan ini bisa memperbaiki cara kita bersembahyang. Semoga semua makhluk berbahagia.
[Dikutip dari Buku Mutiara Dhamma XIV ]